Jumat, 22 Juli 2011

Kurang atau Terlalu Kreatif?


Beberapa waktu yang lalu, pemerintah kota (pemkot) Pekanbaru mengeluarkan kebijakan yang mengejutkan banyak pihak. Pasalnya, kota yang memiliki slogan ’Bertuah’ (Bersih, Tertib, Usaha Bersama, Aman dan Harmonis) ini mengeluarkan sebuah peraturan daerah (perda) mengenai pajak nasi bungkus.
Keluarnya perda tersebut jelas memicu protes banyak kalangan, terutama para pedagang dan pengusaha rumah makan di Pekanbaru. Mereka beranggapan bahwa perda tersebut tidak memberikan rasa keadilan. Namun di sisi lain, pemkot Pekanbaru berdalih bahwa pajak tersebut nantinya akan ditujukan untuk meminimalisir defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada tahun 2010 yang diperkirakan akan mencapai Rp21 miliar.
Tidak berapa lama kemudian, muncul sebuah wacana baru terkait dengan upaya peningkatan penerimaan daerah. Wacana kali ini berasal dari pemkot Batam. Kabarnya, pemkot Batam akan mengenakan pajak bagi para pekerja seks komersial (PSK). Rencananya, setiap PSK akan dikenakan pajak sebesar 10%.
Sontak wacana tersebut menimbulkan pro dan kontra dari kalangan masyarakat. Kebanyakan dari mereka menentang penerapan pajak PSK tersebut. Dengan alasan, pemerintah sama saja melegalkan praktik prostitusi. Padahal, prostitusi itu sendiri bertentangan dengan hukum yang berlaku di masyarakat.
Bisa dibilang, kedua kebijakan di atas sangat nyeleneh. Sebab, cara yang digunakan untuk meningkatkan penerimaan daerah tergolong tidak wajar. Pertama, mengenai pajak nasi bungkus. Coba perhatikan, siapa yang lebih banyak mengonsumsi nasi bungkus? Ya, jawabannya sudah pasti masyarakat kecil. Apakah pantas mereka yang memenuhi kebutuhan hidupnya saja sulit, harus dibebani pajak dari sebungkus nasi yang dibelinya?
Kedua, mengenai wacana pengenaan pajak bagi para PSK. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana mekanisme pemungutan pajaknya? Apakah setiap selesai short time atau kencan singkat, para pelanggan akan diberikan bukti potong? Lalu, apa mereka paham cara penghitungan, penyetoran dan pelaporan pajaknya? Kembali lagi, untuk membiayai hidupnya saja sulit, sekarang mereka malah akan direpotkan dengan hal-hal yang tidak penting menurut mereka. 
Seharusnya pemkot dapat mengambil langkah yang lebih baik untuk menutupi defisit APBD. Misalkan, dengan melakukan penghematan dari berbagai sektor yang dipandang terlalu banyak memakan dana secara percuma. Bukannya malah mencari potensi penerimaan pajak baru dari hal yang tidak wajar.
Yang menjadi pertanyaan kini, apakah pemerintah kita kurang kreatif dalam mencari cara untuk meningkatkan penerimaan? Atau justru terlalu kreatif, sehingga apa pun yang berpotensi untuk dikenai pajak, harus dikenai pajak? ¢

Tidak ada komentar:

Posting Komentar