Jumat, 22 Juli 2011

From Open List to Closed List


Perbaikan dalam praktik pemungutan pajak di Indonesia terus mengalami penyempurnaan, termasuk dalam pemungutan pajak daerah. Mulai 1 Januari 2010, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) akan mulai berlaku. UU ini mencabut UU PDRD pendahulunya, yakni UU Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 34 Tahun 2000.
Ada sejumlah kebijakan baru yang muncul dalam UU PDRD yang baru ini. Namun, intisari dari perubahan UU ini adalah perubahan penetapan jenis pajak dan retribusi yang semula bersifat open list kini menjadi closed list. Hal ini berarti, bila dulu pemerintah pusat memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah (Pemda) untuk menambahkan jenis pajak dan retribusi daerahnya sendiri selain dari pajak-pajak yang sudah ditentukan, maka sekarang keleluasaan tersebut dibatasi alias harus sesuai dengan UU PDRD.
Harapannya, dengan diterapkannya sistem closed list, akan meredusir timbulnya Peraturan Daerah (Perda) yang bermasalah. Ya, seperti yang kita ketahui, saat berlakunya sistem open list dulu, banyak bermunculan Perda-perda yang sengaja dibuat demi memenuhi target Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hingga akhirnya, berkembang stigma Pemda seperti sengaja menebar ‘ranjau Perda’ di mana-mana. Bayangkan saja, hingga pertengahan Agusutus 2009 saja, kabarnya pemerintah telah menganulir 3.455 Perda tentang PDRD dan 1.727  Rancangan Perda yang direkomendasikan untuk ditolak atau direvisi.
Sistem closed list memang diharapkan dapat membuat iklim investasi yang baik di daerah menjadi mudah tercapai, karena tidak ada lagi Perda yang dapat menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang menghambat investasi. Dengan begitu, iklim usaha yang baik dan menarik bagi tumbuhnya kegiatan perekonomian yang produktif bisa diciptakan.
Meski dinilai lebih baik, ada pula yang merasa, dengan adanya pembatasan dari pusat, makna otonomi daerah yang saat ini dijalankan di Indonesia semakin kecil karena kewenangannya disunat. Namun, jika saja aparat Pemda kreatif, sebenarnya tak perlu takut kehilangan sumber PAD-nya, karena sejatinya, sumber PAD tidak melulu berasal dari pajak dan retribusi. Sumber PAD bisa diperoleh dengan menggali dan mengembangkan potensi-potensi daerah yang lain, seperti industri pariwisata, perkebunan, pertanian dan lainnya.
Semangat perbaikan yang diusung oleh UU PDRD yang baru harus dibarengi dengan mental aparat yang tidak ingin lagi mendapatkan sumber PAD dengan cara instan, karena dampaknya tidak baik di mata masyarakat. Jika Pemda ingin menambah jenis pajak dan retribusi di daerahnya, sebaiknya penambahan tersebut tidak hanya sekedar penambahan kuantitas jenis pajaknya saja, akan tetapi harus dapat memberikan banyak perubahan di sisi substansi alias meningkatkan kualitas pelayanan dari pajak. Dengan demikian, manfaat pajak dapat dirasakan oleh masyarakat sebagai Subjek Pajak itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar