Kamis, 21 Juli 2011

Antara Pajak Sinematografi dan Pembajakan Karya Sinematografi


Perkembangan dunia film di Indonesia selalu menarik untuk diamati. Meski telah lama ‘mati suri’, perfilman Indonesia akhirnya bisa bangkit kembali. Dewasa ini perkembangannya semakin pesat, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Dari segi kuantitas, hampir setiap bulan bermunculan judul-judul film terbaru. Sementara, dari segi kualitas, munculnya karya-karya terbaik sineas Indonesia seperti Ada Apa dengan Cinta, Laskar Pelangi sampai dengan Garuda di Dadaku. Ditambah lagi, sejumlah film Indonesia mampu berlaga di kancah Internasional seperti Denias dan 3 Doa 3 Cinta.
Pesatnya perkembangan perfilman Indonesia jelas meningkatkan perputaran uang di sektor-sektor yang terkait dengan pembuatan film, termasuk penghasilan yang diterima oleh para pemilik hak cipta karya sinematografi. Belum lagi jika ternyata film tersebut masuk dalam kelompok box office. Makin besar saja royalti yang akan diterima oleh para sinematografer tersebut.
Terkait dengan penghasilan royalti yang diterima para sinematografer ini, pada tanggal 4 Juni 2009, Dirjen Pajak mengeluarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-33/PJ./2009. Peraturan ini mengatur tentang Perlakuan PPh atas Penghasilan berupa Royalti dari Hasil Karya Sinematografi.
Dalam memori pertimbangan dari peraturan tersebut, dikatakan peraturan ini diterbitkan untuk memberikan kepastian hukum atas perlakuan PPh atas penghasilan berupa royalti dari hasil karya sinematografi. Bisa jadi kepastian hukum ini diberikan karena selama ini pemajakan atas royalti hasil karya sinematografi masih belum jelas objeknya, sehingga pemerintah belum memperoleh hasil yang maksimal dari potensi penerimaan di bidang sinematografi.
Ya, di satu sisi, sah-sah saja jika pemerintah ingin mengamankan penerimaan PPh dari para sineas Indonesia. Namun, di sisi lain, ada hal lain yang mesti diperhatikan pemerintah. Penghasilan yang diterima para sineas ini juga tidak diterima penuh karena karya-karya mereka banyak yang dibajaki.
Lihat saja penjualan VCD-VCD film bajakan yang bisa diobral sampai Rp5.000 per kepingnya. Di Jakarta saja VCD-VCD bajakan ini dapat dengan mudah diperoleh di pinggir-pinggir jalan. Dan bayangkan, berapa banyak kerugian yang diderita oleh para sinematografer ini bila VCD-VCD bajakan tersebut tersebar di berbagai pulau di Indonesia?
Wajar kiranya jika kemudian ada suara sumbang dari para sinematografer bila di satu sisi mereka dipajaki, sementara di sisi lain tidak ada upaya yang signifikan untuk memberantas pembajakan.
Para sinematografer yang memperoleh penghasilan tinggi dari penerimaan royaltinya tentu pantas untuk dikenai pajak. Ini demi menjaga rasa keadilan di antara sesama Wajib Pajak lain yang juga akan dikenai pajak jika mereka memiliki penghasilan yang memang pantas untuk dipajaki. Tetapi demi keadilan pula, rasanya pemerintah juga perlu menunaikan kewajiban kepada mereka, yaitu menanggulangi pembajakan atas karya-karya sinematografi.
Sebuah potensi penerimaan itu bagaikan sebuah pohon yang perlu disiram, dirawat, diberi pupuk, dibersihkan dari hama atau parasit yang mengganggu. Begitu pula dengan potensi penerimaan PPh royalti dari hasil karya sinematografi ini, jika ingin menghasilkan lebih banyak, mereka perlu dibebaskan dari hama yang bernama pembajakan! ¢

Tidak ada komentar:

Posting Komentar