Jumat, 22 Juli 2011

Andai Aku Jadi Wajib Pajak


Banyak orang berandai-andai ingin jadi orang kaya. Lalu mengkhayalkan tentang apa saja yang akan dilakukan setelah jadi orang yang berdompet tebal. Jalan-jalan keliling dunia, beli mobil plus rumah mewah, naik haji dan lain sebagainya. Tetapi, adakah yang berandai-andai menjadi Wajib Pajak?
Tanpa harus dibuktikan melalui penelitian, orang yang mau berandai-andai menjadi Wajib Pajak pasti jarang. Justru lebih banyak yang berandai-andai betapa asyiknya bila tidak harus menjadi Wajib Pajak, karena dengan demikian tidak harus bayar pajak, tidak perlu motong pajak atas penghasilan rekanan, tidak perlu lapor Surat Pemberitahuan (SPT), bahkan tidak akan diperiksa oleh petugas pajak.
Menjadi Wajib Pajak sebenarnya sangat membanggakan, karena sudah ikut serta membiayai kebutuhan negara. Namun, menjadi Wajib Pajak juga memerlukan kemauan dan keikhlasan untuk menanggung beban. Seorang Wajib Pajak tidak mungkin bebas dari kewajiban sebagai Wajib Pajak tanpa rela kehilangan penghasilan sebagai salah satu cirinya. Ini sama tidak mungkinnya seperti jadi orang kaya hanya dengan cara bermimpi.
Berandai-andai sebagai Wajib Pajak bukanlah pekerjaan yang tak ada gunanya. Berandai-andai sebagai Wajib Pajak ini penting, bahkan sangat penting untuk dilakukan sejumlah pihak, agar ikut merasakan kepekaan terhadap beban yang ditanggung Wajib Pajak. Kata orang pintar, mencoba memosisikan diri sebagai orang lain bisa membuat kita lebih bijaksana dalam bertindak. Kalimat bijak ini rasanya sangat relevan jika diterapkan dalam konteks pajak.
Seandainya Wajib Pajak pemilik penghasilan mau memosisikan diri sebagai Wajib Pajak pembayar penghasilan—yang harus jadi pemotong pajak. Maka, mestinya pemilik penghasilan bisa memahami betapa beratnya menjadi pemotong pajak. Potong kekecilan saja salah, apalagi kalau tidak potong. Begitu juga dengan telat lapor SPT.
Belum lagi kalau Wajib Pajak pemilik penghasilan tidak mau ambil pusing dengan urusan pajak, dan celakanya, punya bargaining power lebih tinggi. Tapi karena the show must go on, Wajib Pajak pemotong tetap harus motong, maka ditempuhlah langkah praktis tapi tak ekonomis yang cukup terkenal itu (baca: gross up). Kalau begini, sikap “bijak” Wajib Pajak pemilik penghasilan paling sebatas rela tidak diberi bukti potong pajak.
Efek yang lebih positif akan terasa jika tax policy maker yang memosisikan diri sebagai Wajib Pajak pemotong. Dengan menempatkan diri sebagai pihak yang merasakan betul pahit getir kebijakan pajak yang tidak atau kurang pro bisnis, maka kita boleh mengucapkan selamat tinggal pada kebijakan yang membuat repot Wajib Pajak, dari sisi cost of compliance-nya.
Poin yang perlu kita ingat, tax policy maker bukan Wajib Pajak pemilik penghasilan. Artinya, jika Wajib Pajak pemilik penghasilan tidak mau mencoba memosisikan diri sebagai pemotong pajak, atau mau tapi toh tidak mau menanggung beban pajaknya, tidak demikian halnya dengan tax policy maker.
Menempatkan diri sebagai Wajib Pajak sejatinya adalah kebutuhan para policy maker kita. Sebab tidak ada pajak tanpa Wajib Pajak. Jadi, kebijakan terhadap Wajib Pajak mestinya ditujukan agar Wajib Pajak tetap dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, bukannya malah layu sebelum berkembang.
Wajib Pajak adalah unsur penting dalam keberhasilan mengumpulkan dana demi pelaksanaan pembangunan. Berusaha memosisikan diri sebagai Wajib Pajak dan ikut merasakan beban Wajib Pajak bagi sejumlah pihak di atas bisa membuat kondisi perpajakan di tanah air menjadi lebih nyaman. Tidak percaya? Coba saja! ¢

Memaknai Sebuah Reformasi


Reformasi telah menjadi sebuah kata yang tak asing lagi di telinga. Reformasi juga telah menjadi sesuatu yang mendarah daging dalam langkah merumuskan kembali tatanan nilai yang tidak sempurna. Bahkan, bisa dikatakan setiap hari ada saja tuntutan reformasi dari sejumlah pihak yang mengharapkan hadirnya sebuah perubahan.
Umumnya, reformasi acap kali diterjemahkan sebagai suatu tindakan perbaikan dari sesuatu yang dianggap kurang atau tidak baik menjadi lebih baik. Misalnya reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi merupakan harapan dari setiap warga negara yang menginginkan suatu pemerintahan yang bersih, sehingga mampu menyejahterakan masyarakatnya. Untuk itu, dengan adanya reformasi pemerintahan diharapkan dapat memerangi segala bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang berujung dengan terciptanya pemerintahan yang sehat.
Tidak dapat dipungkiri bila melakukan sebuah reformasi bukanlah perkara mudah. Tidak sedikit hambatan serta tantangan yang menghadang dalam melakukan reformasi. Namun, berbagai kendala yang muncul tidak boleh melemahkan semangat melakukan perubahan.
Pada umumnya, kesulitan yang timbul dalam menjalankan sebuah reformasi tidak lain disebabkan oleh rendahnya komitmen untuk menjalankan reformasi tersebut. Sehingga tidak jarang proses reformasi yang tengah berlangsung, berhenti di tengah jalan. Dengan demikian, sangat dibutuhkan kesungguhan dari banyak pihak dalam mengusung reformasi yang diidam-idamkan.
Sebagai contoh, salah satu instansi pemerintah yang selama ini tengah sibuk melakukan reformasi adalah Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. Di mana Ditjen Pajak yang telah sukses dalam menjalankan program reformasi jilid I, kini berlanjut pada program reformasi jilid II.
Salah satu tujuan dari reformasi jilid II di Ditjen Pajak tidak lain adalah menciptakan sebuah instansi yang benar-benar bersih dari segala bentuk penyimpangan, termasuk mereformasi sumber daya manusia (SDM) di instansi tersebut. Target yang ingin dicapai adalah menciptakan SDM yang profesional dan bersih dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.
Dengan terciptanya SDM yang bersih dan profesional, diharapkan dapat menghindari segala bentuk penyelewengan yang akan terjadi nantinya. Sehingga tidak ada lagi SDM nakal yang bekerja hanya untuk memenuhi pundi-pundi kas pribadi dari uang pajak yang telah dibayarkan.
Sayangnya, di balik reformasi yang selama ini dilakukan oleh Ditjen Pajak, tidak sedikit Wajib Pajak yang masih menganggap bahwa reformasi yang dilakukan selama ini adalah reformasi dengan sistem ‘tambal sulam’. Di mana ketika terbongkar suatu permasalahan, baru dilakukan pembenahan di dalamnya.
Perlu digarisbawahi, dalam sebuah reformasi terdapat dua unsur yang tidak dapat dipisahkan, yaitu change and continuity. Di mana perubahan yang terjadi harus tetap berkesinambungan dengan yang lainnya, sehingga perubahan tidak hanya terjadi pada satu atau dua sektor saja, namun terjadi pada seluruh sektor.
Dengan adanya kesinambungan tersebut nantinya akan tercipta sebuah reformasi yang profesional, efisien dan efektif di dalam tubuh Ditjen Pajak, serta mampu mewujudkan harapan Wajib Pajak agar tercipta sebuah lembaga perpajakan yang bersih dari unsur KKN dan bentuk penyelewengan lainnya.
Dalam konteks apapun, reformasi tak hanya dilakukan oleh lembaganya saja, melainkan harus dilakukan pula oleh individu-individu di dalamnya. Mengutip sebuah lelucon yang mengatakan bahwa, “Reformasi hanya sebuah kata sampah yang takkan ada artinya bila tidak diterapkan oleh tiap individu”. Dengan demikian, bila Anda termasuk orang yang peduli akan sebuah perubahan, maka jadikanlah diri Anda sebagai seorang agent of change, yaitu motor penggerak terjadinya perubahan dalam lingkungan manapun Anda terlibat ¢

Boikot Pajak Bukan Perbuatan Orang Bijak


Pernah mendengar ungkapan bijak, “Bagian tersulit dalam kehidupan bukanlah mencapai sesuatu, melainkan mempertahankan prestasi yang telah dicapai”? Ungkapan bijak tersebut nampaknya pas jika dikaitkan dengan kondisi perpajakan kita. Di tengah pembangunan integritas yang sedang menanjak, Direktorat Jenderal (Ditjen Pajak) tergelicir turun akibat adanya kasus makelar pajak.
Ya, bila melihat keberhasilan Ditjen Pajak dalam meningkatkan jumlah Wajib Pajak hingga mencapai angka 16 juta melalui program sunset policy, sepatutnya kita acungi jempol. Pasalnya, mengajak masyarakat untuk ber-NPWP berdasarkan kesadarannya sendiri bukanlah perkara mudah.
Terlebih lagi, di sebagian besar masyarakat kita masih terdapat paradigma lama bahwa Ditjen Pajak merupakan institusi ‘basah’ sehingga pegawainya berpotensi besar melakukan tindak korupsi. Paradigma ini yang menimbulkan keraguan dalam masyarakat ketika harus menyisihkan sebagian penghasilannya untuk negara.
Ditjen Pajak memang banyak berbenah diri dalam menghadapinya. Berbagai strategi dilakukan untuk menghapus kemungkinan memberantas praktik-praktik korupsi dan meluruskan anggapan miring masyarakat terhadap instansi yang bermarkas di Jalan Gatot Subroto itu. Upaya ini memang terlihat serius dan memang menjadi fokus reformasi birokrasi di jajaran Departemen Keuangan.
Perlahan tapi pasti, paradigma lama itu pun mulai terbantahkan. Slogan, “Bayar Pajaknya, Awasi Penggunaannya”, mulai menumbuhkan kepercayaan masyarakat. Pasalnya, secara tidak langsung masyarakat diajak untuk berpartisipasi dalam mengawasi setiap penerimaan dan aliran pengunaan dana pajak.
Namun sayang, usaha yang telah dibangun dengan susah payah tersebut menjadi runtuh seketika. Ibarat gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga. Ditjen Pajak harus menelan pil pahit akibat mencuatnya berita mengenai makelar kasus pajak oleh oknum aparat pajak yang tidak bertanggung jawab. Terungkapnya masalah ini menorehkan tinta hitam di tengah usaha mengembalikan citra positif yang sebelumnya terus dibangun oleh Ditjen Pajak.
Kritikan tajam tak henti-hentinya dilontarkan oleh masyarakat yang merasa kecewa. Belakangan malah muncul wacana untuk memboikot pajak alias gerakan menolak untuk membayar pajak. Yang menyedihkan, tidak sedikit masyarakat yang mendukung gerakan ini.
Permasalahan ini tidak bisa didiamkan begitu saja. Departemen Keuangan harus segera mengambil langkah cepat untuk mengatasi persoalan ini. Pasalnya, kalau banyak yang memboikot pajak dan tidak ada orang yang mau membayar pajak, mau jadi apa negara ini? Sumber daya alam kita sudah habis.
Marah dan kecewa atas perbuatan oknum pegawai pajak adalah hal yang wajar, namun memboikot pajak juga bukan perbuatan bijak. Yang perlu dievaluasi adalah sistemnya. Jika sistemnya sudah baik disertai dengan reward dan punishment yang jelas, kasus-kasus seperti makelar kasus pajak dapat dihindari. Kita harus percaya, bahwa tidak semua pegawai pajak itu memiliki integritas yang buruk, karena masih banyak pula yang memiliki jiwa patriotik.
Sementara bagi Ditjen Pajak, yang terpenting adalah bagaimana agar dapat membangun kembali kepercayaan Wajib Pajak. Ciptakan kembali citra positif yang sebelumnya sudah mulai dibangun dan peliharalah kepercayaan Wajib Pajak dengan sebaik-baiknya. Karena tumbuh dan berkembangnya negara ini tidak bisa lepas dari dukungan pajak ¢

Kurang atau Terlalu Kreatif?


Beberapa waktu yang lalu, pemerintah kota (pemkot) Pekanbaru mengeluarkan kebijakan yang mengejutkan banyak pihak. Pasalnya, kota yang memiliki slogan ’Bertuah’ (Bersih, Tertib, Usaha Bersama, Aman dan Harmonis) ini mengeluarkan sebuah peraturan daerah (perda) mengenai pajak nasi bungkus.
Keluarnya perda tersebut jelas memicu protes banyak kalangan, terutama para pedagang dan pengusaha rumah makan di Pekanbaru. Mereka beranggapan bahwa perda tersebut tidak memberikan rasa keadilan. Namun di sisi lain, pemkot Pekanbaru berdalih bahwa pajak tersebut nantinya akan ditujukan untuk meminimalisir defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada tahun 2010 yang diperkirakan akan mencapai Rp21 miliar.
Tidak berapa lama kemudian, muncul sebuah wacana baru terkait dengan upaya peningkatan penerimaan daerah. Wacana kali ini berasal dari pemkot Batam. Kabarnya, pemkot Batam akan mengenakan pajak bagi para pekerja seks komersial (PSK). Rencananya, setiap PSK akan dikenakan pajak sebesar 10%.
Sontak wacana tersebut menimbulkan pro dan kontra dari kalangan masyarakat. Kebanyakan dari mereka menentang penerapan pajak PSK tersebut. Dengan alasan, pemerintah sama saja melegalkan praktik prostitusi. Padahal, prostitusi itu sendiri bertentangan dengan hukum yang berlaku di masyarakat.
Bisa dibilang, kedua kebijakan di atas sangat nyeleneh. Sebab, cara yang digunakan untuk meningkatkan penerimaan daerah tergolong tidak wajar. Pertama, mengenai pajak nasi bungkus. Coba perhatikan, siapa yang lebih banyak mengonsumsi nasi bungkus? Ya, jawabannya sudah pasti masyarakat kecil. Apakah pantas mereka yang memenuhi kebutuhan hidupnya saja sulit, harus dibebani pajak dari sebungkus nasi yang dibelinya?
Kedua, mengenai wacana pengenaan pajak bagi para PSK. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana mekanisme pemungutan pajaknya? Apakah setiap selesai short time atau kencan singkat, para pelanggan akan diberikan bukti potong? Lalu, apa mereka paham cara penghitungan, penyetoran dan pelaporan pajaknya? Kembali lagi, untuk membiayai hidupnya saja sulit, sekarang mereka malah akan direpotkan dengan hal-hal yang tidak penting menurut mereka. 
Seharusnya pemkot dapat mengambil langkah yang lebih baik untuk menutupi defisit APBD. Misalkan, dengan melakukan penghematan dari berbagai sektor yang dipandang terlalu banyak memakan dana secara percuma. Bukannya malah mencari potensi penerimaan pajak baru dari hal yang tidak wajar.
Yang menjadi pertanyaan kini, apakah pemerintah kita kurang kreatif dalam mencari cara untuk meningkatkan penerimaan? Atau justru terlalu kreatif, sehingga apa pun yang berpotensi untuk dikenai pajak, harus dikenai pajak? ¢